Syaf Anton Wr |
Selama dasa warsa terakhir ini, para seniman kita belum memiliki karya seni yang dapat menjadi monument sebagai genre perkembangan kesenian di Madura. Di banding tahun 80-an, kehidupan kesenian kita masih dipercaya oleh kalangan masyarakat seni, dan bahkan mampu memberi kontribusi sebagai fenomena kesenian dengan melahirkan lumbung-lumbung kesenian di sejumlah wilayah, termasuk wilayah pesantren. Tapi disayangkan, embrio ini tidak mampu bertahan lama, karena berbagai alasan yang menyebabkan mereka – creator, aktivis, dan komunitas seni – kurang “cerdas” untuk menangkap perkembangan yang terjadi.
Persoalan klasik yang kerap menjadi catatan bagi mereka pada umumnya kurang dan bahkan tidak memiliki modal dalam mengekplorasi karya seninya, karena lemahnya mutu karya yang dilahirkan, demikian dalam pemahaman manajemen kesenian, cenderung dikelola asal-asalan. Karena tampaknya pemahaman “manajemen” telah disalah artikan sebagai wujud yang mengarah pada bentuk kebutuhan-kebutuhan finansial atau anggaran, sehingga “anggaran” tampaknya menjadi tolok ukur suatu keberhasilan dalam proses kreatif karya seni.
Paling tidak dalam posisi tenggang waktu akhir tahun 80 –90an telah banyak berkibar sejumlah nama maupun karya seni, bahkan dalam bidang sastra, Kabupaten Sumenep misalnya, pernah diakui sebagai barometer perkembangan sastra di Jawa Timur. Sedang di Pamekasan dan Bangkalan, percaturan seni cukup hangat, khususnya dalam dunia pentas. Demikian pula komunitas-komunitas seni banyak bermunculan, untuk Sumenep bahkan merambah ke wilayah pelosok pedesaan. Sekitar 60 komunitas yang umumnya mengatasnamakan sanggar seni secara continue membangun kegairahan berkesenian, sehingga sinergitas yang muncul cenderung pada tataran kualitas karya.
Namun tampaknya setelah itu, bersamaan lahirnya era keterbukaan, justru kurang memberi dampak signifikan terhadap fenomena kesenian, bahkan sementara sebagian kalangan seniman terbelenggu oleh persoalan-persoalan posisi dan terjebak pada suatu kepentingan-kepentingan. Dan saat itu pulalah seniman maupun komunitas seni yang mereka geluti yang seharusnya menjadi tumpuan sebagai wilayah dialog dalam mempresentasikan karya, akhirnya menjadi stagnant dan mati suri.
Bisa saja “kasus” ini yang menyebabkan kemandegan kreatifitas seni, karena seniman kita malas berfikir serius dan berfikir besar, sehingga peluang-peluang yang digunakan cenderung pada peluang mendapat untung material dari sebuah pertunjukan daripada keuntungan moral sebagaimana yang diharapkan dalam kesenian. Ketika kita terjun dan terlibat dalam dunia berkesenian, sama artinya kita masuk sebuah arena pertarungan antara moral dan material. Dan ketika material dijadikan kesuksesan dalam berkesenian, maka kejujuran telah kehilangan fungsinya, dan saat itu pulalah kesenian telah kehilangan masyarakatnya.
Padahal dalam konsep kesenimanan, bahwa hasil karya itu lahir dari proses perenungan dan sikap kita menjangkau masa yang akan datang. Dari proses pergolakan pemikiran kita dengan kemampuan wawasan – pemahaman konstelasi budaya kita -, kondisi masyarakat dan alam semesta, serta dialog kita dengan perubahan-perubahan yang terjadi, baik dalam skala besar maupun kecil, dibutuhkan sikap yang tanggap untuk menangkap semua itu. Kalau kita malas membaca dan malas merenung kondisi yang ada, maka harapan kita akan terganjal oleh kepentingan-kepentingan propaganda semata. | berlanjut: Seniman Jangan Sebatas Sebagai Pelaksana