Tugas seniman pada hakikatnya mempunyai tanggung jawab yang berat dan besar terhadap masyarakat dalam pertumbuhan jaman seperti sekarang ini. Tidak mudah mempunyai predikat seniman bila tidak berfikir kritis, reformis dan futuristic. Karena seniman juga ikut bertanggung jawab terhadap kondisi yang dilemahkan, yang dimarginalkan dan yang tertindas, yang selama ini masih berlangsung di tengah-tengah masyarakat kita.
Kerap muncul alasan klasik yang dimunculkan seniman. Melalui propaganda seni dan seabrek rencana-rencana tampaknya menjadi “alat vital” untuk meraih proyek-proyek. Demikian pula tekanan-tekanan ekonomi yang dihadapi seniman jangan diartikan sebagai kondisi supra ekonomi suatu masyarakat. Sebab, kondisi ekonomi secara makro bukanlah faktor yang menyebabkan macetnya karya-karya seni. Banyak kalangan, bahkan seniman dan sastrawan yang mengkambing hitamkan kondisi ekonomi dan politik, yang menyebabkan miskinnya karya seni yang berbobot. Justru menurut saya, kondisi semacam ini hendaknya menjadi perenungan yang kemudian memicu “semangat pemberontakan”, untuk melahirkan karya seni dan sastra yang berbobot dan monumental.
Apalah arti seorang seniman tanpa melahirkan karya seni?, apalah tujuan sastrawan sekedar untuk basa-basi?, apa peran dan fungsi komunitas atau sanggar seni, sekedar sebagai pelaksana-pelaksana kegiatan?. Untuk yang terakhir ini, tampaknya menjadi hegemoni pengakuan dan legitimasi masyarakat terhadap keberadaannya, sehingga peran-peran yang dilakukannya lebih dekat dengan pembangunan sinergi (saya sebut; konspirasi) dengan pihak-pihak kekuasaan.
Bagi saya – sebagaimana kerap saya nyatakan - , bahwa kondisi kesenian dan kesasteraan kita selama ini sedang menangis karena sedang sakit parah dan perlu pengobatan. Bahkan terakhir telah terjebak – atau dijebak – oleh pola-pola kepentingan yang tidak mempunyai kepentingan terhadap fenomena kesenian. Kita tidak mungkin menunggu “ratu adil” untuk mensuport gerakan-gerakan kesenian kita. Bahkan sekaranglah saatnya kita memeras otak dengan konsep-konsep kesenian yang memihak pada suatu kebutuhan masyarakat.
Semua itu tidak dapat diselesaikan hanya sekedar ongkang-ongkang di belakang meja, tidak sekedar merinci berapa anggaran proyek yang didapat, berapa upeti yang akan diberikan kepada pihak yang “membantu” sebagai ungkapan terima kasih, serta berapa sisa yang harus dikantonginya sebagai usaha hasil jerih payahnya. Saya sangat setuju bila model seniman atau kelompok kesenian yang mempunyai pemikiran semacam ini, jauh lebih baik buka saja biro jasa, entertainment, atau cv-cv yang nantinya merebut proyek besar. Ah, begitu tragis kesenian kita dan begitu naifnya seniman kita.
Tapi semua itu akan dapat diselesaikan dengan hormat, bila seniman mau berdialog dengan dirinya, dengan kondisi masyarakat, dengan siapa saja yang terlibat didalamnya, seniman dan kesenian kita tidak akan sekedar jadi obyek, jadi alat untuk target realisasir anggaran proyek, atau sebagai mata rantai kepentingan yang melingkar-lingkar dan tidak mungkin mampu melahirkan karya-karya seni dan sastra gemilang.
Sekedar tahu saja, dibanding tahun 80-90an, saat ini kita telah ketinggalan dan bahkan kehilangan semarak berkesenian yang bermutu. Dan tak satupun periode akhir ini telah lahir seniman-seniman yang dipercaya dan diakui oleh masyarakat nasional, selain seniman yang dibentuk dan dibaiat oleh sebuah kepentingan. “Seniman imitasi”, demikian aku seorang pejabat birokrasi karena sekedar bisa memainkan lagu-lagu.
Sekedar tahu saja, dibanding tahun 80-90an, saat ini kita telah ketinggalan dan bahkan kehilangan semarak berkesenian yang bermutu. Dan tak satupun periode akhir ini telah lahir seniman-seniman yang dipercaya dan diakui oleh masyarakat nasional, selain seniman yang dibentuk dan dibaiat oleh sebuah kepentingan. “Seniman imitasi”, demikian aku seorang pejabat birokrasi karena sekedar bisa memainkan lagu-lagu.
Tentu saja, semua ini berpulang pada basic seniman, sastrawan dan kelompok kesenian masing-masing. “Kesan pertama begitu menggoda, selanjutnya terserah anda”, begitu kata iklan parfum. | Turup
Penulis :Syaf Anton Wr | penyair, budayawan, pengelola Madura Aktual |
Penulis :Syaf Anton Wr | penyair, budayawan, pengelola Madura Aktual |