Pencanangan Kebangkitan Umat Islam oleh OKI terjadi pada tahun 80-an, diantaranya merupakan perwujudan dari semangat optimisme umat Islam, disamping mengembalikan jati diri. Tetapi tampaknya yang terjadi kemudian seruan –pencanangan tersebut telah kehilangan gaung, demikian ungkap Akhmad Nurhadi Moekri, penyair gaek tinggal di Sumenep, ketika ditemui Madura Aktual, dikediamannya.
Menurutnya, ada beberapa sebab, seruan tersebut makin menghilang, yaitu yang pertama disebabkan faktor internal. “Kesiapan umat Islam sendiri yang belum matang. Salah satu indikatornya karena sangat beragamnya visi umat, baik secara individu, kelompok atau komunitas yang lebih besar seperti negara-negara Islam yang masih memerlukan pemberdayaan, baik bidang ekonomi, politik, sosial, budaya, bahkan agamanya sendiri”.
Yang kedua faktor internal. Negara-negara kapitalis merasa terganggu dan terancam kepentingannya oleh gejala kebangkitan Islam dengan serta merta berupaya memberangus kecenderungan yang ada segala strategi mulai dari perang pemikiran, perang urat syaraf sampai dengan perang militer. “Mereka yang menguasai sumber-sumber dan strategi informasi dan teknologi informasi dunia mampu meredam gaung kebangkitan Islam, dengan mengganti hiruk pikuk produk negara-negara kapitalis: seperti isu demokrasi, isu HAM, isu pluralisme atau isu terorisme yang secara halus membungkus nafsu serakah imperialism, dominasi negara kuat kepada negara lemah, eksploitasi SDA dan SDM negara-negara yang mayoritas berpenduduk kaum muslimin. “Tentu saja termasuk didalamnya isu globalisasi”.
Sebenarnya globalisasi itu merupakan hambatan. Untuk itu merupakan kewajiban para pemimpin umat secara optimal mewujudkan visi perjuangan umat. “Kita harus memperkuat dan merapatkan barisan ukhuwah guna mengobarkan semangat hijriyah”, ujarnya pada Madura Aktual.
Ditanya tentu maraknya kemaksiatan dan kemungkaran, Nurhadi menilai makna kemaksiatan dan kemungkaran bisa diperluas dengan memasuki seluruh tataran kehidupan umat. Tampaknya umat Islam melalui sentralitas para pemimpin untuk memberantas masalah tersebut masih dalam tataran hati (qolb), atau paling banter pada tataran dakwah bil lisan, belum terimplementasi secara sungguh-sungguh melalui perbuatan dan gerakan. “Namun bukan berarti tidak ada aksi pemberantasan kemaksiatan dan kemungkaran sama sekali, tetapi kalaupun ada masih bersifat parsial dan tidak tuntas.
Salah satu agenda reformasi yaitu ingin membangun masyarakat madani. Sebenarnya dalam usaha membangun masyarakat madani terus bergulir dengan kebijakan-kebijakan pemerintah pusat maupun daerah seperti terhadap pendidikan, pemberdayaan ekonomi kerakyatan, dsb. Tetapi tampaknya banyak mengalami hambatan, ironisnya hambatan tersebut justru berasal dari pemerintah sendiri, sehingga ketika mengeluarkan beberapa kebijakan banyak yang tidak populer, sehingga mengakibatkan persoalan bangsa makin rumit dan menajam. “Kepekaan sosial para pemimpin kita masih minim, sehingga banyak muncul kebijakan-kebijakan yang tidak sesuai dengan kondisi masyarakatnya. Kekonyolan inilah akibatnya justru kondisi bangsa ini makin terpuruk”
Seniman yang kerap mengkritisi kondisi sosial bangsa ini mengakui, terkoyak dan terkotaknya bangsa ini dalam kungkungan fanatisme sempit. merupakan persoalan sangat rentan memunculkan pemahaman-pemahaman keliru memaknai nilai demokrasi. “Oleh karenanya langkah yang paling krusial adalah penyamaan visi para pemimpin, baru kemudian mengatur strategi. Strategi boleh berbeda, baik melalui struktur fungsional, bisa struktur cultural, atau yang lain, asal saling melengkapi. Tetapi visi harus sama.
Tentang terjadinya krisis menurut Nurhadi, dimulai dari krisis moneter, krisis ekonomi, lantas menjadi krisis politik, bahkan menjadi krisis multidimensi yang awalnya berakar dari krisis moral bangsa ini. “Bagaimana bangsa ini disebut bermoral kalau KKN menjadi sebuah kebiasaan, bukan menjadi sebuah kebijakan?”. Untuk mengembalikan kondisi semacam ini, harus dimulai dengan memperbaiki moral representasi dari bangsa ini. Representasi dari bangsa adalah para elite, baik elite politik, birokrasi, ekonomi yang lazim disebut pemimpin bangsa, termasuk didalamnya para pemimpin umat, dengan sadar mengawali pembersihan diri. Bersih disini adalah manifestasi dari moral. Pemimpin yang tidak bersih adalah pemimpin yang tidak bermoral. Sementara menunggu proses pergantian yang tentu saja tidak gampang, kita mulai dari diri sendiri, ibda’ binafsik.
Agar umat dan bangsa ini bangkit lagi dan mampu tampil, kita harus menanamkan prinsip optimis. “Umat Islam adalah umat yang optimis. Optimis itu termasuk syariat Islam. Ingat konsep khusnudz dzon, tidak berputus asa dari rahmat Allah dan sebagainya. Seraya kita tumpas penyakit rohani, cinta dunia dan takut mati.xx Penulis : Ilham Y Pramunsyi