Home » » Sosok Guru

Sosok Guru

Written By Madura Aktual on Senin, 17 November 2014 | 05.43

Sering mendengar adagium “tadha’ guru kala ka mored”. Suatu adagium yang bisa dijadikan bahan awal untuk melacak “antropologi guru” dalam kebudayaan masyarakat Madura.

Bagaimana sebenarnya kebudayaan Madura memandang guru? Bagaimana guru memandang dirinya? Pertanyaan yang saya anggap penting sebelum guru di Madura membincangkan otonomi pendidikan, kurikulum berbasis kompetensi, managemen berbasis sekolah, dan istilah-istilah lain yang lebih banyak membingungkan daripada mencerahkan.

Meski tidak sepenuhnya yakin, tapi saya masih percaya adagium di atas mengakar kuat dalam stratum alam (bawah) sadar kebanyakan guru di Madura. Adagium yang mendasari pandangan, sikap dan prilaku ketika membangun relasi secara dominatif dengan siswanya.
Seandainya keyakinan saya benar, bisa dibayangkan bagaimana sekolah berubah menjadi institusi yang otoriter. Ruang kelas menjadi (di)mati(kan). Karena yang terjadi monolog, bukan dialog. Dan guru—atau lebih sregdisebut penguasa—berdiri tegap sebagai sosok yang paling benar, maha tahu, pemilik kebenaran, atau yang lebih ekstrim lagi adalah kebenaran itu sendiri.
Ruang kelas yang sejatinya menjadi locusbersemainya pemikiran-pemikiran cerdas berubah fungsi menjadi locus untuk menggelar kuasa  dan “kebenaran”. Guru menjadi sosok yang tak terbantahkan (absolutely right), tak tersentuh (untouchable) dan tak dapat dikritik (uncritical).
Dalam relasi yang tidak setara semacam ini sulit kita membayangkan proses pembelajaran akan menjadi sesuatu yang produktif. Siswa juga akan mengalami kesulitan mengaitkan pengetahuan dengan pengalaman kesejarahan mereka. Tidak adanya ruang untuk terlibat dalam memproduksi pengetahuan menjadikan siswa malas berpikir. Pengetahuan adalah mereproduksi ujaran verbal yang disampaikan gurunya. Tak lebih. Bisa dipahami jika kadang-kadang siswa dibuat linglung ketika berhadapan dengan persoalan baru.
Ada satu hal yang mungkin luput dalam pengamatan banyak guru bahwa era sekarang adalah era “tanpa batas”. Siswa bisa mengakses pengetahuan tidak lagi hanya dari guru tapi bisa melalui tehnologi informasi seperti buku, surat kabar, majalah, tv, video, dan internet. Pengetahuan menjadi terbuka untuk dipelajari. Dengan begitu, guru tidak bisa mengklaim sebagai satu-satunya sumber pengetahuan. Kemudahan mengakses tehnologi informasi telah menjadi “guru baru” bagi siswa.
Gampangnya siswa memperoleh pengetahuan dari sumber lain seharusnya menjadikan guru lapang dada men-share pengetahuannya. Guru tidak harus meneguhkan kuasanya sebagai satu-satunya pemilik pengetahuan. Karena sharing meniscayakan kesediaan untuk saling berbagi bukan monopoli, berdialog bukan monolog, terbuka bukan tertutup.
Kesiapan guru untuk berbagi pengetahuan sepertinya memang tidak bisa ditunda-tunda paling tidak karena dua alasan. Pertama,ada ruang bagi siswa untuk melahirkan pikiran-pikiran cerdas. Tidak melulu mereproduksi tetapi juga memproduksi. Siswa juga tidak dihantui ketakutan psikologis untuk menyatakan pendapatnya karena kelas telah menjadai sarana pembelajaran dalam arti sesungguhnya.
Kedua, ada ruang bagi siswa untuk mengintegrasikan pengalaman pengetahuan mereka yang diperoleh melalui keluarga, masyarakat atau pengetahuan yang disebar oleh kemudahan mengakses tehnologi informasi dengan pengetahuan yang mereka pelajari di sekolah. Karena harus diakui pengetahuan yang diakses melalui tehnologi informasi yang tanpa batas itu seringkali bertabrakan dengan pengetahuan siswa yang diperoleh di keluarga, sekolah dan masyarakat. Adalah tugas guru, disamping keluarga dan masyarakat, untuk memberikan kerangka etik bagi pengetahuan siswa agar tetap memiliki ketajaman spiritual dan etik untuk survivedalam era yang serba tak pasti ini.
Dua hal di atas baru bisa diwujudkan manakala ada kesedian guru merubah mind setnya dalam membangun relasi dengan siswanya. Relasi tidak lagi dibangun atas dasar subyek-obyek di hadapan pengetahuan. Semua duduk dalam kesetaraan sebagai manusia pembelajar. Tugas guru  lebih sebagai fasilitator yang memfasilitasi siswanya untuk sampai pada pengetahuan.
Posisi yang setara bukan berarti guru harus kehilangan otoritasnya. Kehilangan otoritas akan menjadikan ruang belajar chaos. Yang harus disadari otoritas itu bukan dalam rangka mendominasi, tetapi untuk membebaskan. Otoritas itu juga harus diletakkan dalam kerangka etis dimana proses belajar berlangsung dalam kejujuran, kasih sayang, keadilan, toleran dan nilai-nilai luhur lainnya. Walhasil, tugas guru sekarang adalah memotong makna teks “tadha’ guru kala ka mored” dengan konteksnya. Wallahu a’lam ®             

Jurnalisme Warga

Popular Posts

Diberdayakan oleh Blogger.
lontarmadura babad madura