Home » » Dilematika Atasan Korupsi

Dilematika Atasan Korupsi

Written By Madura Aktual on Sabtu, 13 September 2014 | 10.26

Suatu hal yang kerap jadi problem di suatu lembaga/instansi pemerintah, ketika menyaksikan sang atasan melakukan tindak pelanggaran yang berindikasi perbuatan korupsi. Sebagai staf dilingkungan instansi tersebut mempunyai problem tersendiri, lantaran apa yang ia rasakan dan ia lihat sangat bertentangan dengan nurani yang ia tanamkan sejak awal ketika disumpah memasuki jadi pegawai negeri.

Apalagi “hidup” diwilayah instansi pemerintah, yang cenderung menjadi sorotan publik, sehingga posisi staf baik dalam lingkungan kantor maupun di lingkungan masyarakat sangat dilematis, dan dalam posisi terjepit. Karena nurani dan realitas bertempur demikian kuat, pada pada akhirnya dia meletakkan diri pada poisis masa bodoh. Masa bodoh? Itulah sikap yang harus ditaati persoalan korupsi di instansinya

Ada pemeo yang berkembang “kalau memang mau hitam, hitamkan sekalian, kalau mau putih, putihkan sekalian. Dan kalau tanggung (abu-abu) justru akan jadi bumerang bagi dirinya”. Pemeo ini tampaknya telah “menjadi "syarat”, dan aturan yang tidak tertulis, sehingga dalam kondisi seperti ini sangat mengganggu kinerja para pegawai dilingkungannya.

Sejak awal diangkat menjadi PNS biasanya diupesan dan didogma dengan pemahaman “loyalitas pada pimpinan”. Makna loyalitas memang sengaja ditekan agar staf bawahan selalu taat dan tunduk dari kebijakan  pimpinan. Dalam posisi seperti ini kadang aturan atau perangkat hukum lainnya yang menjadi kunci sebuah keberhasilan birokrasi, kadang kurang banyak dimanfaatkan, karena "kebijakan" cenderung diposisikan lebih sentral dan kuat.

Dari sini umumnya sang pemimpin cenderung merasa memiliki hak veto, menentukan apa yang menjadi kehendak, termasuk mengelola anggaran. Bisa jadi dari sikap pemimpin macam itu, tolok ukur dari sebuah jabatan, adalah kekuasan, kekuangan dan cemderung mengarah pelanggaran jabatan.

Pelanggaran jabatan menjadi salah satu penyebab terjadinya korupsi di birokrasi, karena sistem kepegawaian yang tidak sehat, yang menyangkut fungsi para pegawai sebagai “the man behind the gun” yang kurang wajar. Akibat dari pola kolusi dan nepotisme, terjadilah penyimpangan-penyimpangan dan kepincangan sistem rekruetmen pegawai, baik dalam pengangkatan maupun promosi jabatan, sehingga terjadilah ketidak adilan dalam memanfaatkan kemampuan SDM pegawai.  | berlanjut ....
Jurnalisme Warga

Popular Posts

Diberdayakan oleh Blogger.
lontarmadura babad madura