Home » » Jangan Abaikan Aspek Kemanusiaan dalam Ibadah Haji

Jangan Abaikan Aspek Kemanusiaan dalam Ibadah Haji

Written By Madura Aktual on Selasa, 21 Oktober 2014 | 20.47

Bagaikan anak tangga berperingkat, rukun Islam yang lima bukan sekedar berurutan. Melainkan ibarat sebuah tangga, setiap rukun merupakan landasan, tempat berpijak untuk naik ke tangga yang lebih tinggi. Sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, Rasulullah Saw bersabda, “Islam dibangun di atas lima perkara (tingkatan): Syahadat, Shalat, Zakat, Puasa dan Haji”.

Urutan dalam rukun Islam tersebut, menurut Ibnu Arabi menunjukkan peringkat. Ketika salah seorang sahabat Nabi menyebutkan rukun Islam dengan mengatakan puasa sebelum zakat, Nabi Muhammad Saw membetulkannya, bahwa “ Zakat dulu baru puasa”. Ini berarti urutan tidak boleh dibolak-balik atau ditukar. Diantara lima rukun Islam tersebut Haji menempati puncaknya.

Sebagai rukun Islam terakhir, seorang berhaji seharusnya sudah melaksanakan empat rukun sebelumnya. Ibadah haji ditunaikan untuk menyempurnakannya. Seperti sebuah pendakian, haji merupakan puncak tertinggi. Ibadah haji ini menempati posisi atas dan menjadi symbol ketundukan atau keislaman seorang hamba kepada Allah Swt.

Ibadah haji sebagai indikator kesempurnaan seseorang juga ditengarai dengan turunnya wahyu terakhiryang menyatakan kesempurnaan Islam sebagai agama. Ayat tersebut turun ketika haji wada’. “Pada hari ini Aku sempurnakan untuk kamu agamu telah Ku cukupkan kepadamu nikmat-Ku dan telah Ku rihoi Islam itu jadi agama bagimu”. (Al-Ma-idah [5] : 3).

Haji sebagai puncak ke-islaman sekaligus juga merupakan kesempurnaan bagi kemanusiaan seseorang. Bila terjadi pada diri seorang calon haji yang menjumpai di lingkunganya ada orang yang mendesak karena musibah menimpanya dan membutuhkan pertolongan finansial yang tidak bisa ditundanya. Maka calon haji ini wajib menolongnya sekalipun ia harus menggunakan uang ongkos naik hajinya. Hal ini disebut dengan udzur sosial, yang menyebabkan seseorang gagal berangkat haji karena harus menolong orang lain. Sisi kemanusiaan ini mesti didahulukan dari pada memenuhi kebutuhan individualnya.

Sangat ironis bila ada seorang muslim yang sudah haji berkali-kali masih juga antusias mendaftar/mengantri dan menunggu kuota haji, sementara di lingkungan mereka terdapat masalah-masalah sosial yang mendesak untuk diatasi. Ketika ibadah haji yang sangat efektif untuk membangun kesalihan individual berbenturan dengan kewajiban menolong sesama yang sangat mendesak (dharurat), maka prioritas diberikan pada hal-hal yang bersifat sosial.

Masalah kemanusiaan yang mendesak untuk diatasi bisa menggugurkan kewajiban haji seseorang. Calon haji itu dianggap belum istitho’ah – ongkos hajinya tidak cukup- karena digunakan menolong orang lain. Kesimpulan ini diambil dari peristiwa seperti yang diutarakan oleh Ibrahim bin Adham, yaitu kisah Muwaffaq, orang Damaskus yang tidak jadi menunaikan ibadah haji karena ongkos naik hajinya digunakan untuk menolong anakanak yatim di lingkungannya yang kelaparan.

Perhatian Nabi Muhammad Saw terhadap masalah kemanusiaan sangat besar. Pesan universal tentang hak-hak kemanusiaan disampaikan oleh nabi pada haji wada’. Wasiat nabi yang menyangkut hak-hak asasi manusia menjadi episode klimaks, karena disampaikan ketika wukuf di padang “arafah dan sekaligus menjadi khutbah wada’ (terakhir).

Pelaksanaan berbagai teknik prosedural ibadah haji yang lain juga senantiasa memperhatikan hak-hak manusia. Misalnya ketika melempar jumrah ‘aqabah agar tidak berdesakdesakan dan menyakiti orang lain, boleh dilakukan di luar waktu afdhal. Begitu juga ketika memulai thawaf dari rukun – sudut hajar aswad- yang disunahkan mencium batu hitam itu, boleh tidak dilakukan dan menggantinya dengan melambaikan tangan dari jarak jauh sejajar ke hajar aswad. Demikian esensi ajaran Islam yang mengutamakan dan memprioritaskan hak-hak kemanusiaan dalam menjalankan ibadah individualnya.

Dimensi haji yang begitu luas dalam membentuk kesalihan individual dan kesalihan sosial sekaligus, mempunyai komitmen kuat terhadap egalitarian. Sebagaimana disabdakan Rasulullah Saw bahwa semua orang sama dihadapan Allah. Tidak ada perbedaan antara bangsawan Quraisy dengan budak hitam, sebab hanya ketakwaan yang menentukan kemuliaan seseorang. Ketakwaan adalah puncak keimanan manusia. Maka kemabruran haji pun ditandai oleh sifat-sifat ketakwaan para jamaah haji. Sifat-sifat itu tercermin dalam kehidupan sehari-hari yang berdimensi individual dan sosial dalam memperkuat tali interaksi secara vertikal dengan Al- Khaliq, Allah Swt maupun hubungan horisontal dengan sesama umat manusia dan alam lingkungannya.(RAW/MPA 337 / Oktober 2014).
Jurnalisme Warga

Popular Posts

Diberdayakan oleh Blogger.
lontarmadura babad madura