Khalifah Umar bin Al-Khaththab,baru saja melakukan pejalanan ke Syam (Syria). Suatu malam ketika di tengah perjalanan kembali ke Madinah, dia melakukan kunjungan diam-diam (sidak) sendirian ke suatu tempat terpencil. Di tempat itu, dia bertemu dengan seorang lanjut usia di sebuah kemah tua.
Sang khalifah-pun mendekatinya. Selepas berbagi salam sejenak, perempuanyang tak kenal tamunya itu bertanya, “Bagaimana kabarnya Umar ? “. “Dia sedang dalam perjalanan pulang dari Syam. Alkhamdulillaah, dia dalam keadaan sihah wal ‘afiyah”, Jawab Umar.
“Kiranya Allah tidak menganugerahi kebaikan kepadanya”,ucap perempuan tua dan papa itu dengan sangat ketus.
“Kenapa ?”, Tanya sang khalifah kaget dan penasaran. “Demi Allah, saya belum pernah menerima sama sekali pemberian darinya.
Baik dinar maupun dirham”, keluh perempuan tua itu. “Looh, bagaimana Umar tahu kondisi Ibu, edangkan Ibu berada di tempat yang jauh dan terpencil begini ?, Tanya Umar penuh rasa ingin tahu.
“Subhaanallaah (Mahasuci Allah) ; Demi Allah, saya tidak habis pikir, bagaimana ada seseorang mau menjadi pemimpin rakyat, tetapi dia tidak mau tahu keadaan warganya. Baik di ujung timur maupun barat ?”, ucap perempuan itu dengan nada gusar.
Mendengar jawaban yang demikian itu, Umar pun tak kuasa menahan lelehan air matanya. Lalu gumamnya pelan, “Ooh wahai Umar! Betapa malangnya kau ini“. Beberapa saat kemudian, Umar berucap kepada perempuan itu, “Wahai Ibu, berapakah saya harus membayar Ibu untuk menyelamatkan Umar dari api neraka ?”. “Janganlah engkau bercanda!”, ucap perempuan itu dengan nada agak tinggi. “Sungguh, saya tidak bercanda !” jawab Umar serius.
Akhirnya perempuan tua itu sepakat menerima bayaran sebesar 20 dinar atas kerelaannya tehadap Umar. Ketika Umar sedang menyerahkan uang dinar itu, tiba-tiba Ali bin Abu Thalib dan Abdullah bin Mas’ud muncul. Begitu mereka melihat sang khalifah, merekapun mengucapkan salam kepadanya, “Asaalaamu’alaikum, Yaa Amirul Mukminin!”.
Mendengar ucapan “Amirul Mukminin”, perempuan tua itupun gemetar ketakutan (karena tamu yang tidak dikenal tadi ternyata adalah Umar sang khalifah sendiri) dan kemudian bergumam, “Waduuh, memalukan sekali aku ini!, Aku telah melecehkan Amirul Mukminin dihadapan beliau sendiri !”. “Tidak apa-apa, Ibu !, kiranya Allah Swt telah melimpahkan rahmat-Nya kepada Ibu !”, kata Umar bin Al-Khaththab.
Umar kemudian minta secarik kulit. Namun, karena tidak tersedia kulit, dia kemudian menyobek bajunya sendiri dan menulis, “Bismillaahirahmaanirrahiim. Inilah bukti pembayaran/pembelian Umar dari si Fulanah sebesar 20 dinar, sebagai penebusan ketidaktahuan Umar atas keadaan diri perempuan tua itu, semenjak hari Umar memerintah hingga hari ini.
Dengan penebusan ini, segala apa yang didakwakan oleh perempuan tua itu, di Hari Kebangkitan kelak, Umar terbebas dan berlepas diri darinya”. Umar bin Al-Khaththab selanjutnya, meminta kepada Ali bin Abu Thalib dan Abdullah bin Mas’ud untuk menjadi saksi. Umar bin Al-Kaththab, yang dikenal sebagai khalifah yang keras, tegas, tetapi juga humanis, dan penuh tanggung jawab akan kepemimpinannya.
Dalam sidak (inspeksi mendadak) yang sering dilakukannya, dapat ditemukan apa yang sebenarnya. Antara kebijakan yang dikendalikan dari “istananya” dengan “kenyataan di lapangan” yang dialami warga sebenarnya. Ketika penyimpangan yang didapatkannya, dia terlebih dahulu segera menyelesaikannya.
Pantang mencari kambing hitam dipundak orang lain, karena itu bisa diurus kemudian. Dia tidak mau tindakan populis yang sarat dengan pencitraan. Tetapi lebih mengedapankan tindakan nyata yang pro warga dan lingkungan yang memang membutuhkannya.
Ungkapan peristiwa diatas pada kasus “yang dianggapnya sebagai kesalahan sebahagian kepemimpinannya” yang dia temukan pada diri seorang nenek tua-papa yang bernaung dibawah kemah tua tinggal di desa terpencil jauh diluar kota sana, yang kemudian ditebusnya secara kontan saat itu; adalah sebuah gambaran bagaimana model pertanggungan jawaban Umar didepan rakyatnya didunia dan sekaligus dihadapan Allah Swt kelak diakhirat. “Saat dimana tidak ada lagi jual beli/perdagangan, pertemanan/persekongkolan, dan pertolongan dari pihak manapun kecuali dari Allah Swt (. . . yaumun laa bai’un fiihi wa laa khullatun wa laasy syafaa’ah . . ./ QS.2: 254 ). Wallaahu a’laam.
(diolah dari pesan indah dari makkah & madinah, ar.usmani,2008) Ahar/MPA336)