Home » » Revolusi Mental Ala Bupati Sumenep

Revolusi Mental Ala Bupati Sumenep

Written By Madura Aktual on Jumat, 31 Oktober 2014 | 03.57

Sumenep sebagai wilayah yang pernah memiliki masa gemilang kejayaan kerajaan masa lalu, setidaknya menjadi acuan dalam membangun peradaban baru yang lebih kreatif dan inovatif. Hal ini tampaknya belum disadari oleh para pemangku kekuasaan di Sumenep, yang justru masih cenderung membanggakan feodalitas dengan menunjukkan atribut masa lalu.

Menurut catatan sejarah, Kabupaten Sumenep pada tanggal 31 Oktober 2014, genap berusi 745 tahun, merupakan usia yang sangat matang dalam menterjemahkan sejarah pembangunan rakyat Sumenep. Namun demikian populasi yang terjadi, persoalan-persoalan budaya, politik, ekonomi, hukum dan setumpuk masalah lainnya belum memberikan kebanggaan bagi rakyatnya.

Ironisnya kebanggaan ini justru dipoles dalam pertunjukan masa lalu dengan menindentifikasi atribut para pejabat dan dibawahnya ala kraton. Semua tahu dalam paradigma perkembangan masyarakat, atribut keraton telah berakhir dan cukup dijadikan sejarah untuk diambil sarinya.

Rakyat Indonesia meyadari bahwa selama ini dikalangan pejabat masih mengedepankan prestise kekuasaan, dibanding secara utuh memihak pada kepentingan rakyat. Maka menjadi pembenaran bila Presiden Jokowi memproklamirkan revolusi mental. Hal ini tentu sangat beralasan, yang barangkali selama ini pemerintah ditengarai mengkoptasi hak-hak rakyat, sehingga persoalan politik, ekonomi, hukum, kesejahteraan rakyat dan persoalan lainnya masih melingkar dalam system birokratis.

Beda Jokowi, beda pula yang terjadi pada Bupati Sumenep, A. Busyro Karim yang masih dengan bangga mempertahankan atribut kebangsawanan atau priyayi. Hal ini tampak sekali, paling tidak pada peringatan Hari Jadi Sumenep ke 745 tahun ini, masih saja mempertahankan pola kebangsawanan dengan menunjukkan dan mewajibkan menggenakan atribut pakaian kebangsawan bagi pegawai dilingkungan Pemkab Suemenp.

Pada persoalan atribut kebangsawanan ini tahun lalu (2013), telah mendapat kritik habis-habis dari sejumlah pihak, selain pola itu tidak mencerminkan kerakyatan, juga dikeluhkan oleh masyarakat terjadinya jarak antara rakyat dan pemerintah.

Berkait dengan revolusi mental yang dicanangkan presiden. Bahwa ditengarai mentalitas bangsa ini telah harus melepaskan dari feodalisme masa lalu, yang konon dalam kebijakan politik kekuasaan masa lalu, berakibat buruk bagi kesejahteraan rakyat. Untuk untuk mengimplementasi dari pemikiran-pemikiran kreatif itu, maka lahirlah jargon kerja, kerja dan kerja.

Memang tidak dapat dipungkiri, dalam dekade terakhir ini Kabupaten Sumenep dianggap telah berhasil dalam beberapa sektor pembangunan. Hal ini dapat dibuktikan dengan membanjirnya penghargaan prestisius seperti Adipura dan sejumlah penghargaan lainnya dari beberapa sektor pembangunan. Masyarakat sangat apresiatif terhadap prestasi ini, dan bahkan mendukung dengan segala upaya agar pembangunan dan kesejahteraan masyarakat terpenuhi.

Meski sisi yang lain persoalan dasar bagai rakyat berlum terpenuhi, sebagai misal persoalan; politik uang pada Pemilu lalu, penuntasan kasus hukum dan kemiskinan tetap saja melingkar-melingkar dipusaran. Akibatnya representasi rakyat kerap harus melakukan aksi demo, menggugat hak-haknya sebagai warga, sebagai masyarakat, sebagai rakyat maupun sebagai bangsa. 

Sebagai rakyat, tidak bisa berbuat banyak. Tidak teriakan agar hak-haknya dikembalikan. Semua bermuara dan bertumpu dari mentalitas penentu kebijakan di Sumenep. Dirgahayu Sumenep pada hari jadinya yang ke 754. (Syaf Anton Wr)

Keterangan foto: Bupati Sumenep, A. Busyro Karim dan istri diiringi para pejabat Pemkab Sumenep pada acara peringatan Hari Jadi Sumenep ke 744 tahun 2013
Jurnalisme Warga

Popular Posts

Diberdayakan oleh Blogger.
lontarmadura babad madura