Oleh Jamal D. Rahman
Kita memasuki tahun 2015 dengan harap-harap cemas.Tahun baru ini memang kita sambut dengan harapan dan semangat baru, namun tetaplah tersisa bayang-bayang kecemasan dari berbagai fenomena tahun sebelumnya. Tahun baru bagaimanapun bukanlah garis-mula di mana segala sesuatu sepenuhnya dimulai dari awal, melainkan satu garis kontinum di mana banyak hal merupakan kesinambungan dari masa lalu. Bahkan hal yang kita anggap baru pun tidaklahlepas dari konsekuensi-konsekuensi kelampauan kita.
Kehidupan kita adalah sebuah siklus: hal-hal yang terjadi kemaren terjadi lagi hari ini, termasuk hal yang tidak kita inginkan. Longsor lagi, longsor lagi. Banjir lagi, banjir lagi. Gempa lagi, gempa lagi. Gunung meletus lagi, meletus lagi. Korupsi lagi, korupsi lagi. Konflik lagi, konflik lagi. Harga minyak naik lagi, naik lagi. Dan esok semua itu bukan tak mungkin akan terjadi lagi, terjadi lagi. Sebagai sebuah siklus, mungkin ia takkan pernah selesai.
Secara garis besar kita menghadapi dua tantangan terus-menerus sebagai siklus yang tampaknya takkan pernah selesai. Pertama, kesiapan kita menghadapi bencana alam. Kedua, kesanggupan kita mengelola kehidupan sosial kita.
Karena struktur alam kita sedemikian rupa, kita akan terus menghadapi bencana alam. Dalam hal ini kita memiliki modal yang sangat penting, yaitu tingginya solidaritas sosial kita terhadap korban-korban bencana alam. Begitu terjadi bencana alam yang menelan korban, solidaritas dan partisipasi sosial kita bangkit. Hal itu patut kita syukuri. Tapi tantangan utama kita tentu saja terletak pada kemampuan kita dalam mengantisipasi bencana dalam rangka menekan serendah mungkin korban yang mungkin ditimbulkannya. Dalam bereaksi terhadap bencana alam dan korban-korbannya, dapat dikatakan bahwa kitabertindak cukup cepat. Namun dalam mengantisipasi bencana alam, harus kita akui bahwa kita bertindak sangat lambat. Nyaris tidak ada perkembangan berarti dari usaha kita mengantisipasi bencana alam, bahkan bencana alam yang mengerikan.
Maka, adalah mendesak meningkatkan kemampuan kita,dari kemampuan bereaksi ke kemampuan mengantisipasi; dari kesanggupan partisipatif ke kesanggupan preventif, baik dari masyarakat maupun dan terutama daripemerintah. Dikatakan dengan cara lain, sambil terus memupuk solidaritas sosial yang sudah relatif terbentuk, yang kini perlu ditumbuhkan dan ditiupkan terus-menerus adalah kesadaran antisipatif dan preventif menghadapi bencana alam, khususnya bencana alam yang mengerikan, yang pasti menelan banyak korban.
Yang tak kalah penting, atau bahkan lebih penting lagi, adalah meningkatkan kesanggupan kita dalam mengelola kehidupan sosial kita. Yakni membangun dan merawat hubungan-hubungan sosial yang sehat sebagai sebuah bangsa. Potensi konflik sosial bagaimanapun masih membayang, baik bersumberkan politik, ekonomi, etnis, maupun agama. Baik konflik kelas ringan maupun konflik kelas berat yang berujung pada kekerasan dan pelanggaran hakasasi manusia (HAM). Dalam banyak hal, kehidupan kita sangat sensitif tehadap sumber-sumber konflik, sehingga masalah kecil —bahkan sekadar perbedaan— bisa mengobarkan permusuhan dan perpecahan.
Kebersamaan kita sebagai sebuah bangsa seharusnya lebih didasarkan pada kesadaran akan adanya perbedaan tinimbang kesadaran akan adanya persamaan. Dengan demikian, justru karena kita berbeda-beda maka kita mesti bersatu.
Salah satu sumber yang sangat dalam bagi konflik sosial kita adalah ketidaksiapan (sebagian) kita dalam menerima dan menyikapi perbedaan. Barangkali ini bersumberkan kenyataan bahwa kebersamaan kita sebagai sebuah bangsa seringkali dibangun atas dasar kesamaan. Karena kita memiliki kesamaan, maka kita bersatu dan hidup bersama. Meskipun kita berbeda-beda, bagaimanapun kita sama-sama bangsa Indonesia. Meskipun kita berbeda bahasa, bagaimanapun kita memiliki satu bahasa, yaitu bahasa Indonesia. Demikian seterusnya.
Tentu saja asas kesamaan itu penting. Tapi dalam perkembangan kita dewasa ini, asas tersebut tampaknya kurang memadai. Bukankah tak perlu dikatakan bahwa kesamaan meniscayakan persatuan dan kebersamaan? Maka diperlukan penafsiran yang lebih segar atas asas tersebut. Bhinneka TunggalIka dapat difahami bahwa kita bersatu bukan karena kita memiliki kesamaan dan persamaan, melainkan justru karena kita memiliki perbedaan. Kebersamaan kita sebagai sebuah bangsa seharusnya lebih didasarkan pada kesadaran akan adanya perbedaan tinimbang kesadaran akan adanya persamaan. Dirumuskan dengan cara lain, justru karena kita berbeda-beda maka kita bersatu.
Sudah tentu hal itu mengandaikan kedewasaan kitadalam menyikapi berbagai perbedaan di antara kita, sikap saling menghormati satu sama lain, sensitivitas dan negosiasi budaya yang sehat dalam persinggungan perbedaan di antara kita, dan tentu ketaatan pada hukum. Dengan cara itulah kiranya kita akan memotong siklus budaya yang destruktif menyangkut hubungan-hubungan sosial kita.
Dalam kerangka itu, semua elemen sosial-budaya tentu saja harus mengiur sesuatu. Termasuk sastra. Salam. []
"Catatan Kebudayaan" majalah sastra Horison, edisi Januari 2015.