Home » » Budaya Madura Harus Tanggap Jaman

Budaya Madura Harus Tanggap Jaman

Written By Madura Aktual on Sabtu, 06 September 2014 | 10.27

Masyarakat Madura sudah sepatutnya untuk kembali pada jati diri dan rekonstruksi nilai-nilai luhur budaya lokal. Dalam kerangka itu, upaya yang perlu dilakukan adalah menguak makna substantif kearifan lokal. Untuk itu, sebuah ketulusan, memang, perlu dijadikan modal dasar bagi segenap unsur masyarakatnya. 

Ketulusan untuk mengakui kelemahan diri masing-masing, dan ketulusan untuk membuang egoisme, keserakahan, serta mau berbagi dengan yang lain sebagai entitas dari warga yang sama. 

Para elit di berbagai tingkatan perlu menjadi garda depan, bukan dalam ucapan, tapi dalam praktis konkret untuk memulai; kearifan lokal yang digali, dipoles, dikemas dan dipelihara dengan baik yang nenatinya bisa berfungsi sebagai alternatif pedoman hidup manusia Madura dewasa ini dan dapat digunakan untuk menyaring nilai-nilai baru/asing agar tidak bertentangan dengan kepribadian bangsa dan menjaga keharmonisan hubungan manusia dengan Sang Khalik, alam sekitar, dan sesamanya. 

Persoalannya adalah bagaimana mengimplementasikan kearifan lokal untuk membangun karakter di masyarakat? Oleh karena itu, perlu ada revitalisasi budaya lokal (kearifan lokal) yang relevan untuk membangun karakter. Hal ini dikarenakan kearifan lokal pada gilirannya akan mampu mengantarkan masyarakat untuk mencintai daerahnya. Kecintaan masyarakat Madura pada daerahnya akan mewujudkan ketahanan daerah. Ketahanan daerah adalah kemampuan suatu daerah yang ditunjukkan oleh kemampuan warganya untuk menata diri sesuai dengan konsep yang diyakini kebenarannya dengan jiwa yang tangguh, semangat yang tinggi, serta dengan cara memanfaatkan alam secara bijaksana. 

Andhap asor tampaknya menjadi tolok ukur dalam menanamkan etika dan estetika, termasuk didalamnya tentang kesantunan, kesopanan, penghormatan, dan nilai-nilai luhur lainnya sehingga menjadi raddin atena, bagus tengka gulina. Untuk membangun kebersamaan dalam saloka diungkap bila cempa palotan, bila kanca taretan, untuk menjaga keutuhan persabatan perlu dijaga mon ba’na etobi’ sake’ ja’ nobi’an oreng. 

Kehidupan yang harmoni menjadi penekanan kehidupan yang diharapkan dalam rampa’ naong beringin korong, serta ghu’tegghu’ sabbhu’ atau song-osong lombhung, merupakan solidaritas sosial antar warga. Meski kekerasan kerap menjadi indentitas orang Madura seperti carok misal, dalam pandangan orang Madura memiliki tempat tersendiri, karena alasan-alasan tertentu yang berhubungan perasaan malo akibat harga diri diinjak-injak sehingga melahirkan carok. 

“Ango’ potea tolang etembhang pote mata atau otang pesse nyerra pesse, otang rassa nyerra rassa, otang nyaba nyerra nyaba” yang barangkali menjadi pertimbangan mereka. Sebenarnya semua itu dapat diselesaikan dengan terhormat bila diawali dengan bhak-rembhak yang sebenarnya mengakar kuat dalam masyarakat Madura. 

Contoh diatas merupakan bagian kecil dari pendidikan karakter masyarakat melalui kearifan lokal, yang seharusnya telah dikenal dan atau diperkenalkan dari generasi ke generasi. Karena pada dasarnya kearifan lokal dapat didefinisikan sebagai kebijaksanaan atau nilai-nilai luhur yang terkandung dalam kekayaan budaya lokal berupa tradisi, petatah-petitih dan semboyan hidup. 

Revitalisasi Budaya Lokal 

Revitalisasi budaya lokal adalah kegiatan yang memungkinkan budaya lokal itu mampu menjawab tantangan jaman, tantangan hidup hari ini dengan menjadikan gantang penakarnya memanusiawikan manusia, kehidupan dan masyarakat. Langkah ini merupakan tindak lanjut yang menyusul langkah pelestarian alias pendataan (pendaftaran) dan pengenalan hasil budaya angkatan-angkatan terdahulu guna melawan lupa dan memulihkan ingatan kolektif suatu komunitas masyarakat. 

Dengan demikian angkatan hari ini tidak menjadi angkatan lepas akar atau angkatan kosong. Jika terhenti hanya sebatas pelestarian dan menganggap budaya lokal sebagai buah karya angkatan-angkatan sebelumnya, maka dihawatirkan komunitas masyarakat akan hidup menyeret diri mundur ke masa silam sehingga kian tergenang di lumpur keterpurukan. Dengan menganggap budaya silam itu yang paling sempurna dan berlaku di segala jaman. 

Kenyataannya, karya-karya budaya masa silam tidak semuanya tanggap zaman dalam artian mempunyai daya guna untuk memecahkan masalah-masalah kekinian. Karena itu ia patut ditepis mana yang tanggap dan mana yang sudah kedaluarsa. Yang kedaluarsa cukup catat saja menjadi sejarah, simpan di museum sebagai bandingan dan pelajaran, sebagai bagian dari sejarah dari mana kelak bisa melihat perkembangan diri sebagai suatu komunitas. 

Untuk menilai kedaluarsa tidaknya suatu hasil budaya, tentu yang jadi ukurannya adalah kemampuan nilainya menjawab tantangan hari ini. Menghidupkan kembali ingatan kolektif terhadap hal tersebut salah satu metode melalui pendekatan budaya merupakan usaha yang signifikan. Melalui dialog budaya, yaitu bagaimana mengembalikan suku, etnik dan masyarakat Madura, kembali menjadi komunitas-komunitas lokal, menjadi diri sendiri dengan nilai-nilai yang luhur. 

Untuk itu, pendidikan pembebasan melalui proses penyadaran akan menjadi kunci dan bisa dilakukan melalui pemaduan usaha-usaha produktif guna menjawab persoalan hari-hari yang kongkrit, dengan tanpa melupakan, bahwa usaha produktif ini merupakan bagian integral dari proses penyadaran dan pembebasan diri komunitas dari jebakan-jebakan globalisasi budaya. (Penulis : Syaf Anton WR)
Jurnalisme Warga

Popular Posts

Diberdayakan oleh Blogger.
lontarmadura babad madura