Tiang penyangga kuatnya tradisi Madura tak lepas dari prinsip “Lebbi baghus pote tolang etembheng pote mata“ maksudnya lebih baik mati berkalang tanah daripada menanggung malu. Ungkapan ini berlaku demi untuk mempertahankan martabat, hak dan harga diri sebagai orang Madura.
Dari falsafah yang akhirnya menjadi prinsip orang Madura, posisi wanita ditempat dalam posisi terhormta dan dilindungi. Karena tingginya kedudukan wanita, maka kaum wanita khususnya bagi para gadis diperlambangkan sebagai kembhang malate (bunga melati), sebagai bentuk penghargaan dan pujian “duh tang malate”, ta’ geggher polana ojen, ban ta’ elop polana panas are”, artinya; oh melatiku, yang tak gugur karena hujan dan tak layu karena panas matahari.
Kalaupun dalam suatu peristiwa carok disebabkan karena wanita, hal itu telah merupakan kenyataan yang tak mungkin dihindarkan. Demikian pula masalah hak. Permasalahan ini erat kaitannya dengan permasalahan linkungan yang dijajah atau diganggu oleh pihak lain. Dalam wujud ini, biasanya banyak dikaitkan dengan permasalahan irigasi yang merupakan penentu kelangsungan hidup bagi masyarakat setempat. Karena hanya air yang menjadikan mereka dapat bertahan.
Tapi dalam kondisi yang lain, peranan wanita Madura dibandingkan dengan kaum pria belum seluas sebagaimana peran-peran yang dilakukan wanita-wanita kota besar, meskipun pada dasarnya wanita Madura telah mengenal persamaan hak dan kewajiban dengan suami. Atau dengan kata lain bisa disebut semacam emansipasi pembawaan naluri. Seorang istri mampunyai peran dan tanggung jawab yang sangat penting untuk menegakkan martabat dan kehidupan rumah tangga. Mereka bersama-sama turun ke ladang membanting tulang dan memeras keringat hingga “aghili pello koneng“, maksudnya bekerja keras sampai tuntas.
Rasa kebersamaan kerja ini juga berlaku di pasar, di laut, atau dimana saja sang suami membanting tulang. Namun demikian satu kelebihan wanita Madura, tugas-tugas yang lain, baik sebagai ibu dari anak-anaknya maupun sebagai pendamping suami dalam menyiapkan kebutuhan suami maupun tetek bengek lainnya, sang istri akan selalu setia melayani.
Tetapi didalam persamaan hak tersebut, wanita Madura menurut tradisi harus selalu hidup dibawah kekuasaan pria (suami). Artinya wanita Madura harus tunduk, patuh, taat dan menyerah pada kemauan suami dan tidak dibenarkan untuk menolak maupun membantah. Bahkan untuk menentukan perkawinan diteruskan atau diputuskan. Dan apabila suami tidak mampu memberikan keturunan, biasanya sang suami mengambil inisiatif untuk menalak atau kawin lagi dengan alasan demi meneruskan keturunan.
Demikian pula sebaliknya sang suami tidak akan merestui bila istri berkehendak minta cerai. Kecuali bila suami melepaskan dengan suka rela. Tapi hal itu jarang dan sulit terjadi, karena menyangkut prestise dan harga diri sebagai laki-laki yang harus dipertahankan.
Kalaupun sampai terjadi, maka akan berakibat buruk dan berkepanjangan, terutama kalau perkawinan terjadi antar keluarga. Hubungan keluarga akan menjadi retak. Akibat yang lain bila suatu ketika mantan istrinya kawin lagi dengan pria lain, maka tak ayal akan terjadi dan timbul permusuhan, cemburu dan sakit hati.
Maka tak heran timbulnya carok, kadang hanya masalah sepele, yaitu lantaran mantan istri dilamar atau dikawini oleh laki-laki lain. Jadi umtuk melamar wanita (janda), kadang disyaratkan seijin mantan suaminya, hal ini merupaka etika, tatakrama yang masing-masing saling menghargai. Kalau tidak, sama artinya merobek harga diri.
Penulis : Syaf Anton Wr,