Tugas “guru agama” adalah perpanjangan tugas dari risalah yang dibawa Rasulullah untuk menyempurnakan akhlak manusia, agar kehidupan di dunia ini terjaga dari ancaman kekacauan. Sasaran dari kiprah guru agama adalah hati manusia (anak-anak) yang lahir fitrah. Karena itu, seorang guru agama sepantasnya bersyukur kepada Allah karena kehadirannya ke dunia bertugas menyampaikan ajaran kebenaran yang datang dari Allah.
Seorang guru, sebenarnya seorang pengasuh seperti ayah dan ibu. Pendidikan agama akan lebih berhasil apabila dilaksanakan sang guru dengan hati ikhlas, dengan tuntunan yang didasari rasa kasih sayang terhadap anak didik. Pendidikan dan pelajaran agama yang disampaikan dengan kasih sayang akan menjamin adanya jalinan dan hubungan jiwa yang mendalam antara guru dan murid, sehingga apa yang diucapkan dan dicontohkan sang guru akan membekas, bahkan akan terukir indah dalam jiwa si anak didik.
Anak-anak bukanlah robot. Mereka adalah manusia yang mendambakan perhatian dan penghargaan. Semakin tinggi penghargaan guru kepada murid, semakin baik minat anak untuk merespon apa yang diberikan sang guru kepadanya. Akan sempurna lagi apabila guru mampu menjadi contoh teladan yang baik (uswah hasanah) yang setiap tingkah laku dan sikapnya menarik para muridnya untuk meniru dengan senang hati.
Kehidupan dan kebudayaan moderen, adalah hiruk pikuknya aneka macam nilai yang kadang-kadang berbenturan satu sama lain. Materialisme, hedonisme, dan pragmatisme yang ditunjang oleh iklan-iklan serta media massa dan media elektronik, akan membuat nilai-nilai luhur keagamaan yang mengarah kepada kemuliaan hidup menjadi agak tersingkir dan cenderung untuk dilupakan. Pada saat seperti itu, guru agama akan berfungsi sebagai pemandu setia yang bertugas mengajak anak didik naik ke atas “perahu keselamatan” di tengah membanjirnya kemaksiatan. Tugas guru agama selain mendidik anak untuk saleh ritual, juga saleh secara sosial.
Karena itu, tugas sebagai guru agama bukan sekadar “profesi” meskipun setiap guru agama harus menjalankan tugasnya secara “profesional.” Di atas itu, guru agama adalah “tugas mulia” dari Allah yang dalam menjalankan tugasnya harus ada etos dan spirit untuk memenangkan perjuangan lii’la Kalimatillah. Itulah guru agama yang punya “kecerdasan spiritual.”
Guru agama masa kini seyogyanya pandai membaca tanda-tanda zaman untuk bisa menyiasati keberhasilan pendidikan Islam. Perlu adanya keterampilan mengajar dan menyajikan materi yang dikemas menjadi suguhan yang menarik bagi anak didik. Keadaan sekarang menuntut kreativitas, agar bidang studi agama selalu menjadi sajian-sajian yang segar.
Tugas mulia guru agama ialah membawa anak didik ke bawah lindungan Allah dengan mengajarkan faham “menomersatukan Allah.” Menomorsatukan Allah ialah mengupayakan agar segala ajaran agama Allah dipandang sebagai yang terbaik di dalam mengatasi berbagai masalah hidup. Dengan demikian, Tauhid yang menjunjung nilai-nilai agama akan dianggap yang terpenting dalam kehidupan. Dari pendalaman Tauhid itu, cinta ilmu, cinta bangsa dan Tanah Air dibangun. Dengan demikian, pelajaran agama akan selalu ada relevansinya dengan bidang-bidang studi yang lain.
Diperlukan pertemuan berkala bagi para guru agama untuk saling tukar pengalaman di dalam mengupayakan keberhasilan pendidikan agama. Pengalaman kreatif seorang guru bisa ditularkan dan didiskusikan bersama untuk mengatasi berbagai kendala. Dialog bukan sekadar membuat guru bersikap rumongso iso, lebih dari itu bisa membentuk kepribadian guru agama yang iso rumongso.
Cita dan upaya yang mulia dari guru agama, harus disertai riyadhah dengan hati yang taqarrub kepada Allah. Guru agama yang hidupnya saleh dan hatinya dekat dengan Allah akan selalu minta tolong kepada Allah agar apa yang dididikkan dan diajarkan kepada anak didiknya bisa sukses dengan pertolongan Allah. Hanya kepada Allah kita beribadah, dan kepada Allah juga kita minta tolong.