Home » » Malam Jahanam, Mengintip Stigma Madura Masa Lalu

Malam Jahanam, Mengintip Stigma Madura Masa Lalu

Written By Madura Aktual on Sabtu, 09 Mei 2015 | 11.52

Madura Aktual, Sajian menarik drama satu babak garapan sutradara Hamzah Fansuri berjudul Malam Jahanam, yang disajikan Sanggar Cemara pada malam terakhir Pagelaran Karya seni dan Budaya III  (Gelar Aryaseda III)  UKM Cemara, Universitas Wiraraja (Unija) Sumenep, Madura Jawa  Timur, Sabtu, 9 Mei 2015 malam. (baca:  Pertunjukan Malam Terakhir Gelar Aryaseda III, Lebih Cair)

Kisah hasil adaptasi karya Motinggo Busye dengan judul yang sama (Malam Jahanam) yang ditulis tahun 1958 ini tampaknya membuka celah baru dalam pertunjukan drama realis, yang selama ini dicap sebagai naskah pertunjukan genre lama.

Yang menarik dari lakon ini, selain kisah adaptasi ini tidak jauh menyimpang dari cerita aslinya, pemeranpun menggunakan bahasa Madura kental dengan aksen masyarakat pedesaan (sngghit) sehingga karakter Madura tampak terasa dalam alur cerita. Apalagi nama tokoh yang dihadirkan tetap menggunakan nama tokoh asli yaitu Mat Kontan, Soleman, Paijah, Utai dan tukang pijat.

Kelengkapan kisah yang tampak selaras dari tipologi karakter  orang Madura ini, sehingga jejalan ungkapan dialog yang dilontarkan pelaku justru lebih hidup dan segar. Cerita yang berlatar belakang masyarakat pesisir ini dalam versi Madura mengingatkan pada sebuah ironi masa lalu orang Madura.

Stigma Madura yang memiliki “sejarah hitam” pada masa lalu, dalam suguhan kisah Malam Jahanam terasa seperti mengintip tabir masa gelap Madura. Satu sisi falsafah “lebbhi baghus pote tolang, etembhang pote mata” ditunjukkan sebagai nilai kejantanan dan harga diri ditampakkan, juga sisi yang lain watak kotradiktif yaitu kemunafikan, egoisme dan kebanggaan  atas nama orang Madura juga menjadi bagian dari kisah ini.

Ironi Masyarakat Pinggiran

Drama ini mengisahkan tentang perselingkuhan seorang istri, Paijah, dengan Soleman, yaitu  tetangga sekaligus teman suaminya, Mat Kontan. Dalam setting cerita yaitu cerita kampung di pedesaan Madura (dalam naskah asli dihambarkan perkampungan nelayan).  Penggambaran setting ini tampaknya sangat mendukung suasana cerita yang penuh ketegangan dan dialog yang mengarah ucapan-ucapan kasar sebagai kebiasaan orang Madura.

Dari ungkapan yang meladak-ledaklah itulah menjadi kekuatan alur cerita, sehingga ketegangan demi ketegangan menghadirkan gejolak emosi. Demikian pula para tokoh yang terlibat justru membangun suasana dramatis bagi penonton.

Selain ketiga tokoh tersebut, tokoh Utai seorang anak kampung yang dekat dengan ketiga tokoh itu dan Tukang Pijat yang hanya mengambil bagian di adegan awal dan adegan akhir dari drama ini, terasa lebih hidup. Ketegangan yang dihadirkan Mat Kontan, Soleman dan Paijah, tampaknya Utai mampu membangun suasana beda yaitu dengan kebandelannya yang unik sehingga kerap membikin Mat Kontan jengkel dan marah. Sementara sang tukang pjak (perempuan) berparan sebatas lintas mendingin ketegangan pada awal dan akhir cerita.

Kisah Malam Jahanam lebih banyak tertuju pada pengeksploitasian ketiga tokoh utama, yaitu Paijah, Soleman, dan Mat Kontan. Paijah digambarkan sebagai sosok istri yang kesepian karena sering ditinggal pergi oleh suaminya. Dalam kesepian tersebut ia sering ditemani tetangganya, Soleman yang kemudian justru menghadirkan gairah sampai akhirnya mereka terlibat dalam perselingkuhan.

Situasi dan kondisilah yang menyebabkan perselingkuhan itu terjadi. Kampung yang sunyi, suami yang selalu pergi, gairah birahi yang tak mampu dibendung menyebabkan perselingkuhan tersebut terus terjadi bahkan kemudian menyebabkan Paijah hamil dan melahirkan bayi.

Karena situasi pula yang menyebabkan perselingkuhan mereka tak ada yang mengetahui. Hanya seekor beo piaraan Mat Kontanlah yang menjadi saksi terjadinya perselingkuhan tersebut. Beo itupun pada akhirnya mati dibunuh oleh Soleman untuk menghilangkan jejak perselingkuhannya. (syaf Anton Wr)


Jurnalisme Warga

Popular Posts

Diberdayakan oleh Blogger.
lontarmadura babad madura