Home » » Pertunjukan Malam Terakhir Gelar Aryaseda III, Lebih Cair

Pertunjukan Malam Terakhir Gelar Aryaseda III, Lebih Cair

Written By Madura Aktual on Sabtu, 09 Mei 2015 | 10.13

Monolog Tukang Syair
Madura Aktual, Sumenep; Memasuki malam ketiga (terakhir) Pagelaran Karya seni dan Budaya III  (Gelar Aryaseda III)  UKM Cemara, Universitas Wiraraja (Unija) Sumenep, Madura Jawa  Timur, Sabtu (09/05/2015) malam menampilkan 4 pertunjukan “lebih berisi” dibanding malam sebelumnya.

Diawali dengan tari kontemporer “Ghulur” garapan kreografer M. Hariyanto, karya tari yang terinspirasi dari kesenian Topeng Ghulur Batuputih Sumenep, dilandasi konsep dialog antara tubuh dan tanah. Diungkapkan bahwa tumpuan tubuh tidak selalu berada pada kaki. Seluruh anggota tubuh yang lain dapat menjadi tumpuan.

Tari ini oleh penggarapkan telah “diajak” keliling di sejumlah pertunjukan seperti The 12th Indonesian Dance Festival 2014, di Teater Jakarta TIM, Teater Kecil TIM, Gedung Kesenian Jakarta, Ruang C-FSP IKJ, Goethe Haus dan Komunitas Salihara dan lainnya.

Pertunjukan berikutnya disusul teater Smansa Sumenep, dengan verita “Jokotole”. Sebagaimana garapan anak SMA, dalam lakon ini mengambil potongan legenda Jokotole, dan disajikan secara konversional.

Pertunjukan selanjutnya. Sebuah monolog yang dihadirlan oleh teater Serbuk Kayu Unisa Surabaya, dengan judul “Tukang Syair”. Ritme dalam “Tukang Syair” digambarkan kegelisahan, kegetiran dan kemunafikan manusia terhadap dirinya

Lakon ini sebenarnya cukup menarik. Dengan properti kursi dan meja yang diatasnya terdapat sejumlah buku digambarkan “sang Penyair” terjebak oleh imajinasinya sendiri, sehingga pencariannya berhasil hampa.

Sangat disayangkan “cuap-cuap” sang pelaku kerap terjebak oleh kalimat-kalimat bombastis sehingga menikmati alur kisah monolog “Tukang Syair”  kadang terasa hambar dan melelahkan.

Tampilan akhir merupakan sajian tuan rumah, yaitu teater Cemara, yang kali ini merupakan hasil adopsi dari naskah “Malam Jahannam” karya Motinggo Busye. (baca juga:  Malam Jahanam, Mengintip Stigma Madura Masa Lalu)

“Malam Jahannam” dalam versi Madura cukup menggelitik para pengunjung, karena didalamnya sarat pesan-pesan tentang hakikat “kejahannaman”. Yang menarik lagi sang sutradara Hamzah Fansuri mengadopsi seutuhnya naskah Motinggo itu, baik dari cerita maupun nama-nama tokoh dalam lakon.

Selama pertunjukkan keseriusan sutradara tampaknya dipertaruhkan. Dengan dialog bahasa Madura kental, dengan aksen “pedesaan”, terasa membangun kembali masa lalu watak orang Madura dalam sisi gelapnya.

Tampaknya drama realis macam “Malam Jahannam” ini yang justru lebih komunikatif dengan penonton yang rata-rata dari kalangan apresian.

Seorang pembina dan sutradara teater, Agus Suharjoko, menyatakan secara umum pertunjukan malam ketiga ini penonton lebih segar, karena konsep yang disajikan lebih kompromis dengan pengunjung.

“Mereka dari latar pengalaman yang beda, namun disinilah bagaimana masing-masing komunitas bersinergi dalam garapan pertunjukan selanjutnya”, ujar guru SMAN Kalianget itu. (san)



Jurnalisme Warga

Popular Posts

Diberdayakan oleh Blogger.
lontarmadura babad madura