Home » » Nurani Bola Pada Voeller

Nurani Bola Pada Voeller

Written By Madura Aktual on Kamis, 25 Juni 2015 | 10.25

D. Zawawi Imron

Kemenangan dan kekalahan adalah hak semua bangsa. Artinya, semua bangsa, atau semua kesebelasan sepakbola satu ketika boleh menang dan pada ketika yang lain boleh kalah. Meskipun semua ingin nomer satu, nyatanya hanya satu yang akan muncul sebagai pemenang nomer satu. Sama dengan pemilihan presiden, meskipun semua capres ingin jadi presiden, kenyataannya nanti hanya satu yang jadi presiden. Yang lain, atau yang kalah, harus punya berlapis-lapis cadangan mental. Siap untuk kalah.

Kalau soal usaha, setiap tim yang ingin menang pasti berusaha keras. Mereka akan berlatih, makan bergizi, istirahat, konsentrasi dan lain-lain. Tapi para rival kan tidak tinggal diam, mereka juga bersiap dengan segala daya upaya, dengan menyiapkan tenaga raksasa. Kemenangan harus kuraih, pulang harus bawa piala, dan sambutan para pecinta akan gemuruh di antero tanah air. Lambai tangan, sorak sorai, jingkrak-jingkrak dan segala yang melukiskan rasa gembira dan  bangga.

Maka, ketika “Panser” Jerman secara tak terduga dikalahkan tim Ceko, para pendukung Panser di Hamburg bikin rusuh, ngamuk. Para gibol itu merusak fasilitas umum, menjungkir pot-pot bunga yang menghiasi keindahan kota. Emosi yang tak terkendali sulit dibedakan dengan orang gila. Supporter ngamuk karena favoritnya kalah bukan hanya milik Jerman, juga milik segelintir orang Inggris.

Supporter yang ngamuk itu adalah para fanatik yang berlebihan, karena kecewa tak terbendung. Mungkin ada yang bertanya, kenapa mereka tidak pakai akal sehat ? Para pendukung Panser bukan semua yang mengamuk. Di luar itu banyak sekali tapi mereka tidak emosional, tidak bikin onar. Mereka juga kecewa, tetapi tetap pakai akal sehat.

Tim Panser dari Jerman memang sudah kalah. Tetapi tidak berarti tidak ada hikmah dari kekalahan itu. Seandainya Panser tidak kalah pada Ceko, tak ada ceritanya Rudi Voeller mengundurkan diri sebagai pelatih tim Jerman. Ia minggir karena merasa bertanggung jawab atas kekalahan kesebelasan Jerman. Ia telah bertindak sebagai kesatria sejati yang faham akan substansi harga diri. Kalau mau berkelit seperti yang lazim dalam dunia politik, bisa saja ia melemparkan tanggung jawab kepada pemain-pemain Jerman yang tampil kurang prima dalam laga melawan Ceko itu. Tapi ia tidak berkelit, ia tidak mencari kambing hitam, tentu saja karena di dalam dirinya masih bersinar yang bernama hati nurani.

Apa yang dilakukan Voeller jelas bukan karena emosi. Itu bisa disimak dari ucapannya, “Bagi saya tidak akan harus mempertahankan pekerjaan saya, jika permainan yang saya hasilkan buruk”. Selanjutnya ia berkata dengan nada optimis, “Pengganti saya saat ini memiliki waktu dua tahun untuk membangun tim yang tangguh, dan saya yakin Jerman akan tampil perkasa pada tahun 2006”.

Padahal kalau kita berpikir jernih, kekalahan Panser itu tidak 100 persen kesalahan Voeller, meskipun seluruh pemain Jerman saat itu hampir mendominasi jalannya pertandingan. Untuk mencetak gol ke gawang lawan kadang-kadang pemain yang terbaik pun membutuhkan faktor-faktor kebetulan yang di luar perhitungan matematik.

Posisi para pemain lawan yang menghadang pun punya andil besar dalam kegagalan dan keberhasilan si penembak. Sedangkan lawan di luar kendali kita. Lawan punya kendali lain yang selalu siap dengan teknik dan taktikknya untuk bertahan dan menyerang membobolkan gawang   kita. Di samping itu faktor kejiwaan dan mental para pemain juga turut menentukan.

Sedangkan Voeller, pada pertandingan melawan Ceko berada di luar garis lapangan. Meskipun ia pelatih, saat pertandingan berlangsung ia tak jauh berbeda dengan penonton dan supporter. Peran besar dia ialah ketika memproses dari latihan ke latihan selama beberapa tahun. Keberhasilannya juga tergantung pada kemampuan anggota tim dalam menerjemahkan petunjuk-petunjuknya untuk menguasai bola saat berlaga. Kesimpulannya, gagalnya tim Jerman melawan Ceko, bukan total kesalahan Voeller. Para pemain tim Jerman punya andil dalam kekalahan itu.

Anehnya, Voeller merasa bertanggungjawab. Sikapnya bulat seperti bola. Ia mundur. Sikap itulah yang barangkali perlu kita cermati untuk diambil hikmahnya sebagai kecerdasan moral. Mungkin ada yang menilai Voeller naif dengan pengunduran dirinya. Tetapi ia ingin memberi kesempatan pada pelatih lain untuk tampil memberi martabat baru bagi tim Jerman. Yang jelas, apa yang dilakukan Voeller itu diputuskan dengan lapang dada, tanpa tekanan, tanpa maksud untuk merugikan dirinya dan orang lain. Yang jelas ia mundur secara terhormat.

Para pemimpin baik kelas teri maupun kelas kakap ada baiknya bercermin pada substansi pekerti Voeller. Yaitu mundur terhormat apabila tidak berhasil, dan memberi kesempatan pada pemimpin yang lain untuk maju.
Jurnalisme Warga

Popular Posts

Diberdayakan oleh Blogger.
lontarmadura babad madura